KUPANG (Suara Karya): Perhatian pemerintah pusat terhadap daerah perbatasan, dinilai masih sebatas slogan. Karena, tidak ada tindakan konkret yang dilakukan dengan serius dan terpogram secara matang.
"Perhatian terhadap daerah perbatasan itu sudah lama dikumandangkan pemerintah pusat. Namun sampai sejauh ini tidak ada bukti konkret yang dilakukan di daerah perbatasan itu. Semuanya masih sebatas slogan," kata pengamat hukum internasional Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (2/1).
Ia mencontohkan, NTT memiliki sejumlah pulau terdepan yang berbatasan langsung negara tetangga. Seperti, Pulau Batek yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, serta Pulau Ndana Rote, dan Pulau Mangudu yang berbatasan langsung dengan Australia.
"Pulau-pulau terdepan itu hanya diperkuat identitasnya dengan mercusuar serta dijaga oleh militer tanpa adanya aktivitas nyata seperti memoles pulau itu menjadi daerah tujuan wisata atau memanfaatkan wilayah perairan sekitarnya untuk kepentingan budidaya perikanan," katanya.
Demikian pula halnya dengan Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste; serta Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse.
"Tidak ada perubahan yang signifkan di daerah-daerah perbatasan itu yang dapat kita lukiskan sebagai 'serambi depan' Indonesia. Sebagai 'serambi depan' negara, tentu harus lebih manis dipandang, tetapi yang terjadi justru buruk muka cermin di belah," katanya.
Lebih Proaktif
Pandangan yang sama juga dikemukakan pengamat hukum internasional lainnya dari Undana Kupang DW Tadeus, yang saat ini sedang melanjutkan program pascasarjana di Universitas Padjajaran Bandung.
"Ada banyak regulasi yang perlu diatur oleh negara terhadap wilayah perbatasan, seperti pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh warga negara Timor Leste yang berkunjung ke Timor bagian barat NTT dengan kendaraan pribadi," ujarnya seperti dikutip Antara.
Menurut dia, kendaraan yang mengisi BBM di wilayah Indonesia harus dikenakan harga khusus, karena BBM yang disubsidi pemerintah Indonesia itu untuk kepentingan dan kebutuhan warga negaranya, bukan untuk memenuhi kebutuhan warga negara lain.
Tadeus mengatakan, persoalan yang dialami seperti itu, juga didiamkan oleh pemerintah daerah sehingga Kementerian Luar Negeri, dan kementerian terkait lainnya tidak bisa berbuat banyak dalam merancang sebuah regulasi untuk kepentingan negara yang lebih besar.
Menurut dia, pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di daerahnya, bukan menyerah tanpa syarat dengan alasan bahwa persoalan seperti itu adalah urusan pemerintah pusat.
"Di sini, saya melihat pemerintah daerah lebih bersikap pasif tanpa memberikan rekomendasi ke pemerintah pusat untuk mengambil langkah politis selanjutnya," kata Tadeus.
Menurut Wetan Songa, hal yang sama terjadi pula dalam kasus pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor.
"Pemerintah daerah hampir tidak memberikan respons terkait dengan masalah pencemaran tersebut sehingga Jakarta pun tidak berani untuk mengambil sikap tegas dalam upaya mengadukan perusahaan pencemar ke mahkamah internasional," ujarnya.(Suara Karya/WDN)
Berita Terkait:
0 comments:
Post a Comment